A. Pengertian Tasawuf
Ditinjau menurut
bahasa, terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan oleh para ahli
untuk menjelaskan kata tasawuf. Menurut Harun Nasution, terdapat lima istilah
yang berkenan dengan tasawuf diantaranya:
1. Shafa (suci),
disebut shafa karena kesucian batin kaum sufi dan kebersihan tindakan dan
keikhlasannya.
2. Shaff (barisan),
karena kaum sufi memiliki iman kuat, jiwa bersih dan senantiasa memilih barisan
paling depan dalam shalat berjamaah.
3. Theosophi (Yunani:
theo= Tuhan; shopos= hikmah); yang artinya hikmah/ kearifan ketuhanan.
4. Shuffah (serambi
tempat duduk); yakni serambi masjid nabawi yang di madinah yang disediakan
untuk orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dari kaum muhajirin di
masa Rasulullah. Mereka biasa dipanggil ahli shuffah karena serambi tersebut
sebagai tempat tinggal.
5.
Shuf (bulu domba): hal ini disebabkan
kaum sufi biasa menggunakan pakain dari bulu domba yang kasar, sebagai lambing
kerendahan hati mereka serta menghindari kesombongan didalam hatinya, dan zuhud
kepada dunia.
Demikianlah pendapat para para ahli
berkenaan dalam mengkaji pengertian tasawuf, namun para sufi tidak sepakat
dalam mengartikannya. Para sufi mengatakan bahwasannya pengertian mereka sesuai
dengan pengalaman mereka lakukan masing-masing. Menurut Al-junaidi Al-Baghdadi
(bapak tasawuf moderat), tasawuf berarti membersihkan hati dari sifat yang
menyamai binatang, menekan sifat basyariyah (biologis), menjauhi hawa nafsu,
memberikan tempat kepada sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran,
memberikan nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah dan
mengikuti syariat Rasul SAW.
Kemudian seorang tokoh sufi Abu Yazid
Al-Bustami (w.261 H/875 M) mengemukakan bahwa tasawuf meliputi tiga aspek,
yaitu kha’, ha’, dan jim. Kha’
maksudnya adalah takhali berarti mengosongkan diri dari perangai tercela; ha’ maksudnya tahali berarti mengisi
diri dengan akhlak terpuji; dan jim
maksudnya tajali, berarti mengalami kenyataan ke-Tuhanan.
Selain itu Ibrahim Basyuni sarjana muslim
berkebangsaan Mesir mengkategorikan pengertian tasawuf pada 3 hal: Pertama, Al-bidayah, ialah pemahaman
tasawuf pada tingkat permukaan yakni menekankan kecenderungan jiwa dan
kerinduannya secara fitrah kepada Yang Maha Mutlak, sehingga seseorang
senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua, Al-Mujahadah, ialah pemahaman tasawuf pada pengalaman yang
didasarkan kesungguhan yakni yang lebih menonjolkan akhlak dan amal dalam
pendekatan diri kepada Allah SWT. Ketiga,
Al-Madzaqat, ialah pemahaman tasawuf pada pengalaman batin dan perasaan
keberagaman, terutama dalam mendekati dzat yang mutlak.
Dari ketiga pemahaman kategori tasawuf
diatas, Basyuni menyimpulkan bahwa tasawuf adalah kesadaran murni yang
menggerakan jiwa secara benar kepada amal dan aktifitas yang sungguh-sungguh
dan menjauhkan diri dari keduniaan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT
untuk mendapatkan perasaan dalam berhubungan dengan-Nya.
- Karakteristik Tasawuf
Berdasarkan kajian para ahli dilihat dari
karakteristik tasawuf yang paling menonjol, pertama,
tasawuf diartikan sebagai pengalaman mistik. Dalam pemahaman ini tasawuf
diartikan sebagai suatu kondisi pemahaman yang dapat memungkinkan tersingkapnya
realitas mutlak. Pemahaman tersebut bukan berasal dari pengetahuan yang
bersifat demonstrative, tetapi ilham yang menyusup kedalam lubuk hati.
Kemudian Abu Wafa Al-Ghanimi At-Tafizani
ahli filsafat islam dan taswuf serta dosen Universitas Cairo menyampaikan
pendapatnya bahwa ciri umum tasawuf adalah tasawuf memiliki nilai-nilai moral
yang tujuannya membersihkan jiwa yang hanya dapat diperoleh melalui latihan
fisik serta psikis melalui pengekangan diri dari pengaruh materialisme duniawi.
Dengan berlatih secara terus menerus dan
intensif seorang suffi akan sampai pada kondisi psikis tertentu dimana dia
tidak lagi merasakan adanya diri atau keakuannya. Bahkan ia merasa kekal abadi
dalam relitas mutlak. Kehendaknya pun lebur dalam kehendak yang mutlak
.Sehingga tersingkaplah rahasia segala sesuatu.
Tasawuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu, bukan melalui dalil. Orang yang mendapatkan pengetahuan ini dianggap berada dalam cahaya Allah dijalan yang benar, karena mereka memilki kemampuan melihat sesuatu langsung dari hakikatnya. Itu sebabnya tasawuf sukar untuk diungkapkan dengan kata-kata yang mudah untuk dipahami masyarakat awam. Ia merupakan puncak pengalaman perjalanan rohani menuju yang mutlak.Dalam konteks inilah yang sering dikatakan Ibnu Arabi, tasawuf hanya dikaruniakan Allah kepada para Nabi dan Wali, karena merekalah yang telah mencapai puncak tertinggi proses penyucian rohaninya dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berdasarkan obyek dan sasarannya tasawuf diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu:
1. Tasawuf akhlaki
yaitu tasawuf yang sangat menekankan pada nilai-nilai etis (moral)
2. Tasawuf amali yaitu
tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, tujuannya agar diperoleh
penghayatan spiritual dalam setiap melakukan ibadah.
3. Tasawuf falsafi
yaitu menekankan pada masalah-masalah yang metafisik.
- Maqamat Dalam Tasawuf
Menurut bahasa maqamat berasal dari kata makan yang berarti tempat orang berdiri
atau pangkal mulia. Selanjutnya, istilah ini dipakai untuk arti jalan panjang
yang berjenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan
Allah.
Maqamat dalam tasawuf menurut Abu Nasr
As-Saraj dengan berurutan sebagi berikut: tobat, wara’, zuhud, fakir, sabar,
tawakal, ridha.
1.
Tobat. Tobat menurut bahasa
adalah kembali, sedangkan tobat yang dimaksud oleh kelompok sufi adalah memohon
ampun kepada Allah swt atas segala dosa dan kesalahan dan berjanji dengan
sungguh-sungguh dan tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut lagi,
kemudian diikuti dengan amal kebajikan.
2.
Warra’. Kata Wara’ berarti
saleh, yaitu menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjauhi hal-hal yang
tidak baik dan subhat. Dalam pengertian sufi, wara’ adalah menghindari
jauh-jauh segala yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram.
3. Zuhud. Dari segi bahasa
diartikan sebagai tidak ingin terhadap sesuatu yang bersifat keduaniawian.
Orang yang Zuhud lebih mengutamkan dan sangat merindukan kebahagiaan hidup
diakhirat dari pada mengejar dunia yang fana’.
4.
Fakir. Dari segi bahasa artinya adalah orang yang
berhajat, butuh, atau orang miskin, sedangkan pandangan kaum sufi, fakir adalah
tidak meminta lebih dari pada yang menjadi haknya, tidak banyak mengharap dan
memohon rezeki. Kecuali haknya dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah.
5.
Sabar. Dikalangan para
sufi, sabar terdiri dari sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, sabar
dalam menjauhi larangan-larangan Allah dan sabar dalam menerima segala cobaan
yang ditimpakan kepadannya.
6.
Tawakal. Tawakal merupakan
penyerahan diri seorang hamba kepada Allah setelah ada usaha maksimal.
7.
Ridha. Dari segi bahasa
berarti rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan bahwasannya ridha adalah
tidak berusaha, tidak menentang qadha dan qadhar Allah, menerima qadha dan
qadhar Allah dengan senang, mengeluarkan perasaan benci dan dengki dari hati
sehingga yang muncul hanya perasaan gembira, merasa senang menerima malapetaka
serasa menerima nikmat, tidak meminta surga dari Allah SWT maupun menjauhkan
dari neraka, dan tidak berusaha sebelum turunnya qada dan qadar serta tidak
merasa pahit dan sakit sesudah turunya qadha’ dan qadhar.
Perjalanan spiritual yang dilakukan oleh
seorang sufi dalam menentukan hakikat dan makrifat tersebut kadang memiliki
kecenderungan yang berbeda-beda, sehingga munculah beberapa tokoh sufi yang
menonjol dalam pengalaman rohani tertentu seperti zuhud, mahabah, fana, hulul,
wahdatul wujud dan lain-lain.
1. Zuhud. Orang Zuhud lebih
lebih mengutamakan dan sangat merindukan kebahagiaan hidup diakhirat dan kekal
serta abadi dari pada mengejar dunia yang fana’. Diantaranya tokoh zuhud yang
terkenal adalah:
a. Sa’id bin Musayyab
(91 H), murid dari Abu Hurairah.
b. Hasan Bashri (21).
c. Sufyan Ats-Tsaury,
lahir dikuffah 97 H.
d. Ibrahim bin Adham (w 165 H) lahir di balkh, Persia.
2.
Mahabbah. Tokoh mahabbah
paling mashur adalah Rabi’ah Al-Adawiyah (w 185 H). Ia dilahirkan di Bashrah,
menurutnya zuhud harus dilandasi dengan mahabbah (rasa cinta) yang mendalam,
kepatuhan kepada Allah bukanlah tujuannya, karena ia tidak mengharapkan surge
dan tidak takut adzab neraka, tetapi ia mematuhinya karena rindu dan cinta
kepada-Nya.
3.
Fana’ dan Baqa’
(lewat penghancuran munculah kekekalan). Dari segi bahasa fana’ artinyasirna,
lebur, hilang, sedangkan baqa’ artinya kekal, abadi, dan senantiasa ada.
Sehingga ketika kaum sufi mencapai maqom ini ia merasa fana’ yaitu hilangnya
sifat-sifat tercela dan munculnya sifat yang terpuji.
4.
Ittihad. Ittihad merupakan
pengalaman batin akan kesatuan seorang sufi. Seorang sufi akan mabuk dalam
kenikmatan bersatu dengan Allah. Dalam keadaan ini tidak jarang muncul
ucapan-ucapan yang sebagian orang dianggap aneh seperti kata-kata: Ana Al-Haq=
(Aku adalah Al-Haq), aku adalah Yang Satu. Tokoh yang sangat popular dalam
maqomat ittihad adalah Abu Yazi Al-Bustami.
5.
Hulul. Tokoh mashur hulul
adalah Abu Mansyur Al-Hallaj. Menurut pandangannya tingkat fana’ yang dicapai
seorang sufi bukan hanya membawa pada ittihad tetapi lebih jauh lagi yakni
hulul. Hulul merupakan bertempatnya sifat ketuhanan kepada sifat kemanusiaan.
Dalam hal ini, Al-hallaj dipandang sebagai sufi controversial sehingga harus
berakhir ditiang gantungan.
6.
Wahdatul wujud. Teori ini berpijak
pada pandangan bahwa, semua wujud hanya memiliki satu realitas, realitas
tunggal itu adalah ialah Allah SWT. Adapun alam semesta yang serba ganda dan
berbilang ini hanyalah wadah penampakan diri dari nama dan sifat Allah dalam
wujud terbatas. Tokoh yang terkemuka adalah Ibnu arabi.
Dari beberapa maqamat dan pengalaman sufi
diatas dapat kita teladani dalam hidup keseharian sesuai dengan kapasitas
kemampuan kita, dengan sendiriya akan bermunculan akhlak terpuji yang bias
membangun kehidupan bermasyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar