A.
Hubungan Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
Para ahli ilmu tasawuf pada umumnya
membagi tasawuf kepada tiga bagian, yaitu tasawuf falsafi, tasawuf
akhlaqi, dan tasawuf ‘amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya
sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara membersihkan diri
dari perbuatan yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan yang terpuji.
Dengan demikian, dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf, seseorang harus
terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal
pendekatan yang digunakan.
Pendekatan yang digunakan tasawuf
falsafi adalah pendekatan rasio atau akal pikiran. Tasawuf ini menggunakan
bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan para filosof,
seperti filsafat tentang Tuhan, manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Pendekatan yang digunakan dalam tasawuf akhlaqi adalah pendekatan akhlak yang
terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli
(menghiasinya dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya
dinding penghalang) yang membatasi manusia dengan Tuhan. Sedangkan pendekatan
yang digunakan tasawuf ‘amali adalah pendekatan amal wirid, yang
selanjutnya mengambil bentuk tarekat.
Hubungan antara ilmu akhlak dengan
ilmu tasawuf dapat dilihat berdasarkan isyarat Al-Qur’an dan hadis yang
menegaskan pentingnya akhlak manusia dalam menjalani kehidupan. Al-Qur’an dan
hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa
sosial, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik
sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian,
hemat, menepati janji, disiplin, mencinntai ilmu, dan berpikiran lurus.
B.
Esensi Tasawuf
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh
suatu hubungan khusus langsung dengan Allah. Hubungan yang dimaksud adalah
mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada di hadirat
Allah SWT. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara roh
manusia dengan Allah. Hal ini dapat dilakukan menusia dengan cara mengasingkan
diri. Keberadaan manusia yang dekat dengan Allah SWT akan berbentuk ittihad
(bersatu) dengan Tuhan.
C.
Mahabbah kepada Allah
Kata mahabbah berasal dari
kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan yang berarti mencintai
secara mendalam atau kecintaan yang mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi,
Jamil Saliba mengatakan bahwa mahabbah adalah lawan dari al-bagd,
yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah juga berarti al-wadud,
yakni sangat penyayang. Selain itu, al-Mahabbah juga berarti
kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan. Tujuannya adalah untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat materiil ataupun spiritual, seperti
kecintaan orang tua terhadap anaknya.
Selanjutnya, kata mahabbah
digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran tasawuf, yaitu
kecintaan yang mendalam secara rohaniah kepada Allah SWT. Pengertian mahabbah
dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan al-Qusyairi. Menurut beliau, al-mahabbah
adalah hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya disaksikan oleh
Allah SWT. Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, dorongan mahabbah kepada Allah
SWT berasal dari diri seseorang sendiri dan juga karena hak Allah untuk dipuja
dan dicintai. Mahabbah di sini bertujuan untuk melihat keindahan Allah
SWT.
D.
Makrifat kepada Allah
Dalam tasawuf, makrifat berarti
mengetahui Allah dari dekat. Dalam istilah Barat makrifat disebut gnosis,
yaitu pengetahuan dengan hati nurani. Dengan makrifat, seseorang sufi lewat
hati sanubarinya dapat melihat Allah SWT. Makrifat merupakan cermin seorang
sufi. Jika seorang sufi melihat cermin, yang dilihatnya hanyalah Allah SWT.
Tokoh utama paham makrifat adalah
Zunnun al-Misri. Menurutnya untuk menjelaskan paham makrifat perlu diketahui
pengetahuan tentang Tuhan. Ada tiga macam pengetahuan untuk mengetahui Tuhan,
yaitu:
1)
Dengan
perantara syahadat;
2)
Dengan
logika (akal pikiran sehat);
3)
Dengan
perantara hati sanubari.
Oleh karena itu, makrifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam
hati seorang sufi dengan sinarnya yang menyilaukan.
E.
Hal dalam Tasawuf
Hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih,
dan perasaan takut. Hal yang biasa disebut dengan hal adalah
takut (al-khauf), rendah hati (at-tawadu’), patuh (al-taqwa),
ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd),
dan berterima kasih (al-syukr). Hal berlainan dengan maqam.
Hal diperoleh bukan atas usaha manusia, tetapi sebagai anugrah dan
rahmat Allah SWT. Seain itu hal bersifat sementara, datang dan pergi
bagi seorang sufi dalam perjalanan mendekati Allah.
Selain melaksanakan berbagai
kegiatan dan usaha seperti yang disebutkan di atas, seorang sufi juga harus
melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan itu seperti riyadah,
mujahadah, khalwat, ‘uzlah, muraqabah, dan suluk.
Riyadah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir, tafakur, dan
melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Mujahadah
berarti bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Khalwat
berati menyepi atau bersemedi. ‘Uzlah berarti mengasingkan diri dari
pengaruh keduniaan. Muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah. Suluk
berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan zikir. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa jalan yang harus dilalui seorang sufi cukup sulit dan harus
ditempuh dengan perjuangan berat. Untuk pindah dari maqam satu ke maqam lain
bagi seorang sufi memerlukan perjuangan berat dan waktu yang panjang.
terimakasih tilisnnya
BalasHapusterimakasih tilisnnya
BalasHapusApa dampak tasawuf tanpa ilmu fiqih?
BalasHapus